Perbedaan yang
sangat mencolok dari Emotional Branding
dengan teknik marketing maupun brand communication traditional adalah cara
pendekatannya yang lebih people focused
dibandingkan dengan produk focused.
Adalah Jack Trout yang menginspirasi
munculnya pendekatan ini melalui karyanya ‘Positioning’
yang di published tahun 1969. Di tahun 1981 ia menggandeng Al Ries untuk mempublikasikan sebuah buku yang berjudul ‘Positioning – The Battle in Your Mind’
yang saat itu menjadi best seller dan banyak menjadi buku panduan di seluruh
dunia.
Pada buku
tersebut disempurnakanlah konsep ‘Positioning’
yang sudah ada sebelumnya menjadi sebuah ‘Positioning
Statements’ yang pengembangan lebih detailnya dijelaskan pada buku Crossing The Chasm.
Framework dari ‘positioning statement’
ini meliputi identifikasi pada elemen-elemen: For Whom (target customer) Who
(statement of the need or opportunity) The
(product name) is a (product
category) That (statement of key
benefit – that is, compelling reason to buy) Unlike (primary competitive alternative) Our product (statement of primary differentiation).
Terminology ‘Emotional Branding’ sendiri meskipun
sudah ada di 1980an, namun baru benar-benar
populer setelah Marc Gobe
menekankan lagi pentingnya topic ini lewat buku "Emotional Branding: A new paradigm for connecting brands to
people" di tahun 2001.
“Shocking Fact: 95%
of customers purchase decision driven by Subconscious Mind – Gerald Zaltman
(HBS)”
Awal kecintaan
Saya terhadap emotional branding ini
sebenarnya di picu dari hasil riset Gerald
Zaltman, salah seorang Profesor ternama dari Harvard Business School dalam salah satu publikasi beliau yang sangat
terkenal “How Customers Think, Essentials Insight into the Mind of the Market”.
Salah satu
statement beliau yang paling fenomenal dan menarik perhatian dari dunia
marketing adalah sebagai berikut:
“Traditional market research over-relies on
consciousness — in other words, on rationality, economic logic, and
verbalization.
However, in consumers’ purchasing choices, 95
percent of the decision-making process takes place below the conscious level.”
Dengan kata lain
95% keputusan dari konsumen dalam untuk melakukan pembelian didasari oleh
pikiran bawah sadar nya (Subconscious
Mind) bukan dari pikiran sadarnya.
Hasil penelitian
ini memang mengusik rasa penasaran berbagai kalangan baik dari kalangan pebisnis,
marketer tak terkecuali ilmuwan dari pelbagai disiplin ilmu. Neuro-science, cognitive science,
psychology, anthropology dan berbagai disiplin ilmu yang lain sudah banyak
dikerahkan untuk mengerti bagaimana pola pikir manusia baik sadar maupun bawah
sadar.
Design pikiran
bawah sadar inilah yang berperan besar membentuk perilaku manusia, termasuk
emosi. Bagaimana seorang bereaksi terhadap sebuah stimulus yang ada merupakan
cerminan bagaimana peta pikiran yang bawah sadar yang terbentuk di otaknya.
Itulah mengapa ilmu tentang mendalami pikiran bawah sadar manusia menjadi
teramat sangat penting.
Tak terhitung,
sudah berapa trilliun dollar yang sudah dihabiskan R&D perusahaan terkemuka
di dunia dan juga para peneliti dari berbagai disiplin ilmu dalam usaha menguak
rahasia pikiran bawah sadar manusia. Kalau bagi para marketer tujuannya cuma
satu, bagaimana cara agar bisa membaca pola pikir dan perilaku manusia,
kemudian bisa memformulasikan sebuah strategi branding bisa efektif untuk
mengkoneksikan brand dan customer dalam
sebuah reaksi emosi positif.
Misinya adalah bagaimana
menjadi yang utama di benak customer (mind
share) ada action untuk purchase
yang tercermin dari market share, dan
adanya sebuah commitment dari customer untuk membeli lagi di waktu yang akan datang (future intention). Atau kalau boleh di istilahkan bagaimana cara
memenangkan emotional share Brand
kita di mata konsumen.
Hasil dari
penelitian tersebut sementara menyebutkan bahwa pola pikir pada Subconscius Mind tidak bisa dibentuk
secara instan dengan hanya mengandalkan format komunikasi satu arah sebagaimana
strategi branding above the line
marketing campaign classic yang selama ini ada. Butuh sebuah ‘daily ritual’ yang dilakukan secara
konsisten untuk membangun suatu ikatan emosi yang kuat dengan involvement aktif
dari customer pada suatu ‘longevity engagement’
atau engagement dalam waktu yang
cukup lama untuk benar-benar menancapkan ‘meaning’
dari keberadaan suatu Brand. (si)