Senin, 20 Agustus 2012

Emotional Branding Sebagai Pilar Penting Dalam Strategi Marketing Saat Ini


Perbedaan yang sangat mencolok dari Emotional Branding dengan teknik marketing maupun brand communication traditional adalah cara pendekatannya yang lebih people focused dibandingkan dengan produk focused. Adalah Jack Trout yang menginspirasi munculnya pendekatan ini melalui karyanya ‘Positioning’ yang di published tahun 1969. Di tahun 1981 ia menggandeng Al Ries untuk mempublikasikan sebuah buku yang berjudul ‘Positioning – The Battle in Your Mind’ yang saat itu menjadi best seller dan banyak menjadi buku panduan di seluruh dunia.

Pada buku tersebut disempurnakanlah konsep ‘Positioning’ yang sudah ada sebelumnya menjadi sebuah ‘Positioning Statements’ yang pengembangan lebih detailnya dijelaskan pada buku Crossing The Chasm.

Framework dari ‘positioning statement’ ini meliputi identifikasi pada elemen-elemen: For Whom (target customer) Who (statement of the need or opportunity) The (product name) is a (product category) That (statement of key benefit – that is, compelling reason to buy) Unlike (primary competitive alternative) Our product (statement of primary differentiation).



Terminology ‘Emotional Branding’ sendiri meskipun sudah ada di 1980an, namun baru benar-benar populer setelah Marc Gobe menekankan lagi pentingnya topic ini lewat buku "Emotional Branding: A new paradigm for connecting brands to people" di tahun 2001.

“Shocking Fact: 95% of customers purchase decision driven by Subconscious Mind – Gerald Zaltman (HBS)”

Awal kecintaan Saya terhadap emotional branding ini sebenarnya di picu dari hasil riset Gerald Zaltman, salah seorang Profesor ternama dari Harvard Business School dalam salah satu publikasi beliau yang sangat terkenal “How Customers Think, Essentials Insight into the Mind of the Market”.

Salah satu statement beliau yang paling fenomenal dan menarik perhatian dari dunia marketing adalah sebagai berikut:

“Traditional market research over-relies on consciousness — in other words, on rationality, economic logic, and verbalization. 
However, in consumers’ purchasing choices, 95 percent of the decision-making process takes place below the conscious level.”

Dengan kata lain 95% keputusan dari konsumen dalam untuk melakukan pembelian didasari oleh pikiran bawah sadar nya (Subconscious Mind) bukan dari pikiran sadarnya.

Hasil penelitian ini memang mengusik rasa penasaran berbagai kalangan baik dari kalangan pebisnis, marketer tak terkecuali ilmuwan dari pelbagai disiplin ilmu. Neuro-science, cognitive science, psychology, anthropology dan berbagai disiplin ilmu yang lain sudah banyak dikerahkan untuk mengerti bagaimana pola pikir manusia baik sadar maupun bawah sadar.


Design pikiran bawah sadar inilah yang berperan besar membentuk perilaku manusia, termasuk emosi. Bagaimana seorang bereaksi terhadap sebuah stimulus yang ada merupakan cerminan bagaimana peta pikiran yang bawah sadar yang terbentuk di otaknya. Itulah mengapa ilmu tentang mendalami pikiran bawah sadar manusia menjadi teramat sangat penting.

Tak terhitung, sudah berapa trilliun dollar yang sudah dihabiskan R&D perusahaan terkemuka di dunia dan juga para peneliti dari berbagai disiplin ilmu dalam usaha menguak rahasia pikiran bawah sadar manusia. Kalau bagi para marketer tujuannya cuma satu, bagaimana cara agar bisa membaca pola pikir dan perilaku manusia, kemudian bisa memformulasikan sebuah strategi branding bisa efektif untuk mengkoneksikan  brand dan customer dalam sebuah reaksi emosi positif.

Misinya adalah bagaimana menjadi yang utama di benak customer (mind share) ada action untuk purchase yang tercermin dari market share, dan adanya sebuah commitment dari customer untuk membeli lagi di waktu yang akan datang (future intention).  Atau kalau boleh di istilahkan bagaimana cara memenangkan emotional share Brand kita di mata konsumen.


Hasil dari penelitian tersebut sementara menyebutkan bahwa pola pikir pada Subconscius Mind tidak bisa dibentuk secara instan dengan hanya mengandalkan format komunikasi satu arah sebagaimana strategi branding above the line marketing campaign classic yang selama ini ada. Butuh sebuah ‘daily ritual’ yang dilakukan secara konsisten untuk membangun suatu ikatan emosi yang kuat dengan involvement aktif dari customer pada suatu ‘longevity engagement’ atau engagement dalam waktu yang cukup lama untuk benar-benar menancapkan ‘meaning’ dari keberadaan suatu Brand.  (si)


Minggu, 19 Agustus 2012

Peradaban Mungkin Berubah, Startegi Marketing Mungkin Akan Berevolusi, Tapi Tidak Untuk Emosi Customer


Dunia Marketing adalah ranah yang berkembang dinamis sekali tak terkecuali ‘branding strategy’ yang menjadi salah satu perubahannya. Beda zaman beda pula system yang dipergunakan. Dalam prakteknya branding strategy melibatkan banyak sekali disiplin ilmu. Mulai disiplin ilmu marketing itu sendiri, neurosicience, cognitive-science, psychology, anthropology, art and design, matematika, fisika dan berbagai disiplin ilmu yang lain.


Tak cukup dari situ perkembangan media dan teknologi bisa merubah wajah teknik branding yang sudah ada sekarang. Yang paling terasa perubahannya terutama adalah masalah ‘Branding Strategy’ yang ikut berevolusi seiring dengan berkembangnya media interaksi yang digunakan customer.

Revolusi besar-besaran juga terjadi di dunia digital yang mengarah pada makin canggihnya perangkat telekomunikasi dengan harga yang semakin terjangkau.  Banjirnya smartphone dari berbagai kelas mulai dari yang premium sampai yang ‘asal terlihat smart’ juga menjadi salah satu otaknya. Keberadaan perangkat pintar ini sangat mempengaruhi model interaksi customer baik antar sesama mereka maupun dengan media interaksi baru yang sudah ada.

Namun meskipun media interaksi sudah sangat berubah, satu hal yang tak pernah berubah adalah emosi manusia. Kalau dulu ketika orang tersenyum dan berbuat baik kepada kita akan membuat kita merasa nyaman, sekarang juga masih sama juga adanya. Begitu juga kalau ada orang yang selalu sinis kepada kita, menyakiti perasaan kita atau mengkhianati kita akan membuat kita marah dan cenderung menghindari orang tersebut.

Emosi secara definisi adalah perasaan intens yang ditunjukkan kepada seseorang atau sesuatu. Kata emosi diturunkan dari kata bahasa Perancis emotion, dari emouvoir yang artinya kegembiraan dari bahasa Latin emovere yang terdiri dari e- yang artinya luar dan movere yang artinya bergerak. Emosi memang pada umumnya di rangsang oleh sebuah stimuli yang berasal dari luar tubuh dan dapat memberikan reaksi psikis maupun fisiologis.


Dalam ilmu Biologi semua emosi berasal dari limbic system otak yang kira-kira berukuran sebesar kacang walnut dan terletak di bagian batang otak. Bagian ini bisa dijadikan salah satu indicator kebahagiaan seseorang. Orang akan cenderung merasa bahagia jika system limbic nya tidak dalam kondisi aktif. Dengan kata lain, jika ada orang yang depresi ataupun mendapatkan rangsangan berupa informasi yang negatif akan membuat system ini menjadi aktif.



Suatu stimulus yang sama bisa jadi direspon dengan sangat bervariasi oleh seseorang. Pengalaman dan kepribadian orang lah yang merubah ‘cara pandang’ sesorang terhadap suatu rangsangan.

Charles Darwin dalam bukunya “The Expression of the Emotions on Man and Animals” menyatakan bahwa emosi berkembang seiring waktu untuk membantu manusia memecahkan masalah. Berkembangnya emosi sangat dipengaruhi oleh ragam pengalaman yang dialami oleh manusia dan bagaimana ia menyikapinya.



Seperti halnya hubungan antara customer dengan Brand. Brand adalah sebuah stimulus atau rangsangan yang bisa disikapi sangat beragam oleh customer tergantung beragam pengalaman yang dijalani oleh customer dengan Brand tersebut.  

Jika sebuah brand selalu memberikan apa yang sudah dijanjikannya kepada penggunanya (brand promise), bahkan melebihi apa yang diharapakan customer (beyond customer expectation), hal tersebut akan menghadirkan respond dan pengalaman positif (positive experience) bagi customer.


Ketika seseorang sudah merasakan banyak sekali pengalaman positif yang dilaluinya dengan suatu Brand, secara otomatis ia akan merasa nyaman dan gampang menaruh kepercayaan (trust) terhadap brand tersebut. Dan wujud nyata sebuah komitmen adalah sebuah adanya sebuah komitmen kesetiaan menggunakan brand tersebut baik masa sekarang maupun masa yang akan datang (future intention).


Tak cukup dari situ ketika emotional connection antara brand dengan cutomer begitu kuat, kalau bahasa anak mudanya sudah ada ‘chemistry’ antara keduanya, customer akan bersemangat untuk berbagi cerita dan pengalaman tentang ‘keharmonisan’ dan segala hal baik antara brand kita kepada keluarga, sahabat atau relasi-relasinya.

Kalau ada yang coba-coba berusaha berbicara sesuatu yang miring tentang Brand kita, para customer kita yang setia tak akan segan-segan membela Brand kita dengan mati-matian, meskipun kita tak pernah membayar mereka untuk itu. Layaknya seorang pria yang gagah berani membela pujaan hatinya dan menepis setiap gossip miring yang menghinggapi sang belahan jiwa. Emosi yang kuat sudah terjalin kuat antara Brand dengan customer kerapkali  efektif untuk melahirkan sebuah Brand Advocacy.


Keadaan sebaliknya bisa juga terjadi, jika kualitas dari barang dan jasa masih jauh dari apa yang diharapakan oleh customer, jangan pernah berharap customer akan memiliki kesetiaan pada brand kita. Bisa jadi dengan mengingat brand kita hanya akan membangkitkan emosi negatifnya saja. Setiap kali melihat Brand kita terpampang di baliho atau iklan di jalan-jalan ia akan serta merta menceritakan ‘aib’ brand kita pada orang di sebelahnya. Tak perduli berapa banyak memori indah yang pernah di jalani, jika sering kali kita kecewakan customer, yang akan mereka ingat bisa jadi hanya keburukan Brand kita saja.

Itulah menariknya sisi emotional manusia, sampai kapanpun ia cenderung memiliki karakter yang tegas. Ia hanya akan menjalin hubungan dengan orang yang membuatnya merasa ‘nyaman’ saja. Sekali ia tersakiti seolah-olah tak pernah ada kata maaf. Bisa jadi kata memaafkan terlontar keluar dari mulut kita, namun nama dan segala memori buruk akan susah sekali untuk dihapuskan.

Bisa jadi ini menjadi alasan mengapa seni menjalin hubungan hubungan emotional yang baik antara sebuah Brand dengan customer, atau yang lebih kita kenal sebagai ‘Emotional Branding’ merupakan salah satu teknik yang paling penting dengan tanpa mengesampingkan elemen-elemen marketing yang lain. Bukan nama atau Brand yang kita penting, tapi reputasi positif tentang nama kita yang teramat sangat penting. Karena hal itu berhubungan langsung dengan kepercayaan konsumen. Ketika nama sebuah Brand kita sebut dan bisa membangkitkan emosi yang positif pada customer hal itu adalah modal yang sangat menentukan kejayaan sebuah Brand.



Andai saja jika semua pabrik Coca-Cola, gerai KFC atau Mc Donald dan juga Apple Store di seluruh dunia di luluh lantakkan, tak akan butuh waktu lama bagi mereka untuk mengembalikan semuanya. Mereka tak akan benar-benar habis meskipun secara fisik mereka sudah habis. Karena masyarakat masih menginginkannya dan merindukan momen positif bersamanya.

Beda halnya kalau sebuah brand memiliki hubungan emosional yang buruk dengan customernya, tak peduli secanggih apapun teknologi yang dimilikinya, segenius apapun orang-orang di balik R&D nya, dan seluas apapun jaringan distribusinya bahkan sampai kutub sekalipun, kalau semua customer hanya mengingat emosi dan pengalaman negatif dari brand tersebut, tanpa ada orang yang membakar atau merobohkan pun Brand itu juga akan hancur dengan sendirinya.

Jadi hal itulah yang menjadikan suatu alasan kuat mengapa ‘Emotional Branding’ menjadi salah satu strategi Branding yang benar-benar diakui keefektifannya. (si)